إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يدْعُوْ عَلَى السُّلْطَانِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوى، وَإِذَا سَمِعْتَهُ يَدْعُوْ لِلسُّلْطَانِ بِالصَّلاَحِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ سُنَّةٍ، فَأُمِرْنَا أَنْ نَدْعُوَ لَهُمْ وَلَمْ نُؤْمَرْ أَنْ نَدْعُوَ عَلَيْهِمْ وَإِنْ جَارُوْا وَظَلَمُوْا، لِأَنَّ جَوْرَهُمْ عَلىَ أَنْفُسِهِمْ، وَصلاَحَهُمْ لِأَنْفُسِهِم وَلِلْمُسْلِمِيْنِ
“Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan kepada penguasa, maka ketahuilah bahwa dia itu pengikut hawa nafsu. Jika engkau mendengarnya mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa dia itu pengikut Sunnah.
Kita ini diperintahkan untuk mendoakan kebaikan untuk mereka (penguasa) dan kita tidak diperintahkan mendoakan keburukan buat mereka, walaupun mereka menyimpang dan berbuat zhalim. Karena penyimpangan mereka menimpa mereka sendiri, sedangkan kebaikan mereka adalah untuk mereka dan kaum Muslimin.
[Syarhus Sunnah, Imam al Barbahari (w.369) hlm.116, faidah no :136]